Dua Pasang Hati
A
A
A
“Ini alesan gue, kenapa gue nggak ngijiniin lo macarin Lara,” ujar Keenan sambil memasukkan tangan kirinya di saku celananya.
Gavin menatap kakaknya dari samping, berdecak sebal, “Heran gue, apa sih yang diliat Lara dari lo? Judes, iya. Nyebelin, banget. Nggak perhatian, bener. Matanya buta kali ya?” Keenan tahu adiknya itu sakit hati banget sekarang. “Gue juga nggak tau, kenapa hampir sepuluh tahun ini, dia masih pertahanin perasaannya buat gue. Kadang, gue ngerasa lelah dan pengen nyerah soal Lara...” Keenan menendang pasir di hadapannya.
“Terus kenapa akhirnya lo nggak ngelepasin dia?” Cowok itu hanya mengangkat bahunya, tak tahu harus menjawab apa. “Kak, lo tau... selama ini lo pikir, gue nggak tahu kalo Lara sebenernya milih lo daripada gue? Gue tahu, karena matanya selalu seneng tiap kali lo ada di sampingnya. Berbeda, waktu dia ada di samping gue. Dia emang keliatannya seneng, pas gue di sampingnya, tapi gue nggak sebodoh itu, Kak. Gue tau isi hati dia yang sebenernya...” “Kalo udah tau, kenapa lo masih maksa macarin dia?
Nggak takut sakit hati?” “Gue udah pernah bilang kan sama lo, gue nggak nyerah sampe kapanpun? Tapi rasanya gue salah... Gue lebih bahagia kalo dia juga bahagia. Gue berada di sisinya, sampe dia ngerasa tenang dan nggak nangis lagi karena lo.” Keenan terkejut mendengar alasan adiknya yang bertahan, meski tahu ia terluka karena Lara. Sikap itu patut diacungi jempol oleh Keenan, sebagai cowok Keenan belum tentu bisa melakukan hal sebesar itu buat Lara.
“Maafin gue, Dek. Gue sadar sekarang, kenapa semua orang bilang gue pengecut,” sesalnya sedih. “Udahlah... lagipula ada satu alesan lagi kenapa gue rela ngelakuin ini semua buat Lara, Kak.” “Apa?” “Ntar juga lo tau.” Gavin beranjak dari tempatnya berpijak, meninggalkan Keenan yang dibiarkannya berpikir matangmatang tentang kata-kata terakhirnya. Coba tebak, sekarang Lara dan Echa sekarang di mana?
Dua wanita itu... sekarang sedang berada di sebuah distro paling terkenal di pertokoan pantai Kuta. Kata Echa, sebentar malam ada party kecil-kecilan, merayakan anniversary -nya yang ke empat tahun dengan Ardio. Lara sih seneng-seneng aja melihat sobatnya juga tersenyum, menjelang hari bahagianya. Maka itu, dia bersemangat membeli baju bersama dengan sobat terbaiknya itu. “Ra, coba yang ini deh!” Echa menyodorkan sebuah mini dress sepaha, dan sedikit terbuka di bagian dada. Ia mendelik terkejut saat Echa menyodorkan baju itu padanya.
“Heh, lo sinting apa gimana sih? Yang bener aja lo ngasih gue pake baju begini? Nggak ah!” tukas Lara, melempar pakaian itu pada Echa. Sahabatnya itu langsung menunjukkan wajah kecewanya, lalu bergegas mengambilkan pakaian lain. Pilihannya jatuh pada sebuah blus terusan berbahan renda berwarna putih, lengan buntung. Lalu, bawahannya terbuat dari bahan sifon berwarna pink pastel. Karena kulit Lara lumayan putih, ia merasa dress ini akan terlihat cantik di tubuh Lara.
“Ini ya? Gimana? Gih, ganti buruan. Pasti lo cakep deh. Ntar tinggal Keenan sama Gavin aja yang merem-melek ngeliat lo,” ledek Echa kemudian. “Heh! Enak aja, emangnya mereka lampu merah kedapkedip?” balas Lara sambil terkekeh. Ia pun mengambil terusan itu dari tangan Echa, kemudian mengenakannya. Jeng...jeng...! Echa bertepuk tangan puas, selain karena pilihannya tak begitu buruk, ia juga terpukau dengan kecantikan Lara.
Bener deh, hampir delapan tahun sahabatan dengan Lara, baru kali ini Lara betul-betul berubah jadi putri cantik yang akan menyihir dua pangerannya sebentar malam. “Udah, cus. Yuk bayar!” Echa menarik lengan Lara. Gadis itu tampak bingung, bukannya ini acaranya dia? Kok dia nggak beli baju juga? Pikir Lara dalam hati.
“Eh, tunggu, Cha. Ini acara lo kan ya? Kok lo nggak beli baju sih?” tatapnya bingung. “Gaun gue udah di siapin sama Ardio, Sayangku... Udah, ah. Kita nggak punya waktu lagi, ntar keburu malem!” Echa buru-buru menarik lengan Lara. (bersambun)
Oleh:
Vania M. Bernadette
Gavin menatap kakaknya dari samping, berdecak sebal, “Heran gue, apa sih yang diliat Lara dari lo? Judes, iya. Nyebelin, banget. Nggak perhatian, bener. Matanya buta kali ya?” Keenan tahu adiknya itu sakit hati banget sekarang. “Gue juga nggak tau, kenapa hampir sepuluh tahun ini, dia masih pertahanin perasaannya buat gue. Kadang, gue ngerasa lelah dan pengen nyerah soal Lara...” Keenan menendang pasir di hadapannya.
“Terus kenapa akhirnya lo nggak ngelepasin dia?” Cowok itu hanya mengangkat bahunya, tak tahu harus menjawab apa. “Kak, lo tau... selama ini lo pikir, gue nggak tahu kalo Lara sebenernya milih lo daripada gue? Gue tahu, karena matanya selalu seneng tiap kali lo ada di sampingnya. Berbeda, waktu dia ada di samping gue. Dia emang keliatannya seneng, pas gue di sampingnya, tapi gue nggak sebodoh itu, Kak. Gue tau isi hati dia yang sebenernya...” “Kalo udah tau, kenapa lo masih maksa macarin dia?
Nggak takut sakit hati?” “Gue udah pernah bilang kan sama lo, gue nggak nyerah sampe kapanpun? Tapi rasanya gue salah... Gue lebih bahagia kalo dia juga bahagia. Gue berada di sisinya, sampe dia ngerasa tenang dan nggak nangis lagi karena lo.” Keenan terkejut mendengar alasan adiknya yang bertahan, meski tahu ia terluka karena Lara. Sikap itu patut diacungi jempol oleh Keenan, sebagai cowok Keenan belum tentu bisa melakukan hal sebesar itu buat Lara.
“Maafin gue, Dek. Gue sadar sekarang, kenapa semua orang bilang gue pengecut,” sesalnya sedih. “Udahlah... lagipula ada satu alesan lagi kenapa gue rela ngelakuin ini semua buat Lara, Kak.” “Apa?” “Ntar juga lo tau.” Gavin beranjak dari tempatnya berpijak, meninggalkan Keenan yang dibiarkannya berpikir matangmatang tentang kata-kata terakhirnya. Coba tebak, sekarang Lara dan Echa sekarang di mana?
Dua wanita itu... sekarang sedang berada di sebuah distro paling terkenal di pertokoan pantai Kuta. Kata Echa, sebentar malam ada party kecil-kecilan, merayakan anniversary -nya yang ke empat tahun dengan Ardio. Lara sih seneng-seneng aja melihat sobatnya juga tersenyum, menjelang hari bahagianya. Maka itu, dia bersemangat membeli baju bersama dengan sobat terbaiknya itu. “Ra, coba yang ini deh!” Echa menyodorkan sebuah mini dress sepaha, dan sedikit terbuka di bagian dada. Ia mendelik terkejut saat Echa menyodorkan baju itu padanya.
“Heh, lo sinting apa gimana sih? Yang bener aja lo ngasih gue pake baju begini? Nggak ah!” tukas Lara, melempar pakaian itu pada Echa. Sahabatnya itu langsung menunjukkan wajah kecewanya, lalu bergegas mengambilkan pakaian lain. Pilihannya jatuh pada sebuah blus terusan berbahan renda berwarna putih, lengan buntung. Lalu, bawahannya terbuat dari bahan sifon berwarna pink pastel. Karena kulit Lara lumayan putih, ia merasa dress ini akan terlihat cantik di tubuh Lara.
“Ini ya? Gimana? Gih, ganti buruan. Pasti lo cakep deh. Ntar tinggal Keenan sama Gavin aja yang merem-melek ngeliat lo,” ledek Echa kemudian. “Heh! Enak aja, emangnya mereka lampu merah kedapkedip?” balas Lara sambil terkekeh. Ia pun mengambil terusan itu dari tangan Echa, kemudian mengenakannya. Jeng...jeng...! Echa bertepuk tangan puas, selain karena pilihannya tak begitu buruk, ia juga terpukau dengan kecantikan Lara.
Bener deh, hampir delapan tahun sahabatan dengan Lara, baru kali ini Lara betul-betul berubah jadi putri cantik yang akan menyihir dua pangerannya sebentar malam. “Udah, cus. Yuk bayar!” Echa menarik lengan Lara. Gadis itu tampak bingung, bukannya ini acaranya dia? Kok dia nggak beli baju juga? Pikir Lara dalam hati.
“Eh, tunggu, Cha. Ini acara lo kan ya? Kok lo nggak beli baju sih?” tatapnya bingung. “Gaun gue udah di siapin sama Ardio, Sayangku... Udah, ah. Kita nggak punya waktu lagi, ntar keburu malem!” Echa buru-buru menarik lengan Lara. (bersambun)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)